Sabtu, 16 April 2011

Sejarah Jengkol






Makanan satu ini sangat kontroversial, meskipun tanpa bau saat memakannya
namun rasanya orang-orang di sekeliling sudah terlebih dahulu menutup hidung
sambil mencibir. Sebagai orang Sunda yang sebagian besar menggemari lalab atau
lalapan; cibiran yang sama meskipun tanpa maksud menyakiti sering saya temukan,
terutama saat makan nasi timbel, ayam goreng dan teman-temannya berupa
sayur-sayuran segar yang mentah seperti kacang panjang, buncis, leunca, terong
bulat, daun selada, daun surawung atau kemangi atau basil serta potongan
mentimun. Kayak kambing aja!

Jengkol atau Jering atau Pithecollobium Jiringa atau Pithecollobium Labatum adalah tumbuhan khas di wilayah Asia Tenggara, termasuk yang digemari di Malaysia, Thailand dan Indonesia terutama di wilayah Jawa Barat yang seharinya dikonsumsi 100 ton. Ah, masih sedikit! Jengkol termasuk tanaman polong-polongan. Buahnya berupa polong dan bentuknya gepeng berbelit, berwarna lembayung tua.
Biji buah berkulit ari tipis dengan warna coklat mengilap. Jengkol akan membuat kehebohan saat memasaknya dan setelah diproses oleh pencernaan, yaitu menimbulkan bau yang katanya tak sedap.

Bau yang berlebihan tersebut dibuang saat direndam dan direbus, selain supaya
biji jengkol tersebut menjadi lunak. Paling sering dihidangkan dengan cara
disemur setelah dibelah menjadi dua bagian dan ditumbuk-tumbuk hingga lebih
gepeng. Setelah disemur dan kemudian disantap; bau jengkol tersebut nyaris tidak
tercium lagi, rasanya enak. Sering pula diplesetkan semur jengkol disebut
sebagai ati maung. Bau jengkol akan muncul lagi saat membuang air seni.

Saat dicerna jengkol akan menyisakan zat yang disebut asam jengkolat (jencolid
acid) yang dibuang ke ginjal. Di sinilah efek yang sering ditakuti oleh
orang-orang, yaitu jengkoleun atau jengkolan. Jengkolan terjadi saat asam
jengkolat yang memang sulit larut dalam air akhirnya mengendap dalam ginjal,
membentuk kristal padat hingga bisa berakibat sulit membuang air seni. Jika pH
darah kita netral, asam jengkolat aman-aman saja, tapi jika cenderung asam (pH
kurang dari 7) asam jengkolat membentuk kristal tak larut.

Apakah karena porsi yang berlebihan yang bisa membuat orang jengkolan?
Mungkin. Namun, meskipun jengkolan dikenal dan ditakuti banyak orang tapi saya
sendiri belum pernah menemui kasus jengkolan pada diri saya atau keluarga dan
teman yang juga pemakan jengkol.

Risiko terkena jengkolan ini tidak tergantung pada banyaknya jengkol yang
dikonsumsi, tetapi bergantung pada kerentanan tubuh seseorang. Orang yang
rentan, mengonsumsi sedikit jengkol saja dapat menyebabkan terjadinya jengkolan.
Apa yang memengaruhi kerentanan seseorang terhadap asam jengkolat belum jelas,
tapi diduga akibat faktor genetik dan lingkungan.
Lalu apa khasiatnya jengkol ini? Masih sedikit saya temukan, yang sering
disebut-sebut adalah memiliki fungsi mencegah diabetes dan baik untuk kesehatan
jantung. Referensi lain tak saya temukan, mungkin ada banyak di perpustakaan
atau lembaga riset nasional, tapi karena tak ada di web tidak saya cari lebih
detil lagi. Tanaman jengkol sendiri diperkirakan memiliki kadar penyerapan air
yang tinggi dari dalam tanah.

"Pohon Jengkol diperkirakan dapat menyerap air lebih banyak dibanding
tumbuhan lain. Dengan kata lain dengan ditanaminya pohon Jengkol di
lereng-lereng gunung dan bukit disekitar sumber mata air di Bogor maka
kemungkinan besar terjadinya banjir akan sangat kecil." Begitu ujar Direktur
Hutan Pendidikan Gunung Walat, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Dr.
Ir. Supriyanto.

Selain disemur, jengkol sering pula dibuat menjadi keripik seperti halnya
emping dari melinjo, jengkol ditumbuk/digencet hingga pipih, dikeringkan dan
digoreng dengan minyak panas.

So ... selamat makan jengkol yak ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar